Senin, 06 Maret 2017

Menyakiti, disakiti, memaafkan

Menyakiti, sebuah kata yang didalam kehidupan pertemanan saya sangat tabu, banyak yang berpikir bahwa menyakiti seseorang demi kebaikan diri sendiri adalah hal yang salah, lebih baik kita disakiti dari pada menyakiti.

Sedikit banyak dari teman saya, yang dulunya teman saya, partner hidup saya, rekan kerja saya dan bahkan cikal bakal saya, hampir selalu merasa disakiti, sedikit banyak dari mereka berpikir mereka adalah korban dari perasaan tersakiti yang dibuat oleh keadaan disekitar mereka, tanpa memikirkan keadaan yang bisa dibilang pelaku yang menyakiti. Saya banyak melihat diantara teman - teman saya, bahkan saya sendiri mengakui bahwa menjadi korban yang disakiti sangatlah menyenangkan. Kenapa saya bilang menyenangkan?, Karena yang merasa disakiti merasakan kenikmatan bahkan kelegaan karena menyalahkan yang menyakiti dirinya. Kenapa saya bisa bilang seperti itu, karena saya mengalami sendiri, menyalahkan diri sendiri adalah hal yang sulit, bahkan kalau bisa saya atau korban disakiti menyalahkan yang bisa disalahkan.  Haaaa, yaa saya mengakui menyalahkan orang lain itu kenikmatan tiada tara. Saya secara pribadi lebih cenderung menyalahkan orang lain dan hingga mungkin menyakiti orang tersebut, namun dengan seiring berjalannya waktu, saya sadar satu hal, yang bisa menyakiti diri kita sendiri adalah diri kita sendiri dan yang merasa disakiti juga diri kita sendiri. Memang sedikit banyak orang lain selalu menyalah - nyalahkan orang lain kembali, namun sadarkah orang-orang tersebut, bahwa semakin kamu menyalahkan orang lain atas keadaan mu, semakin kamu merasa disakiti oleh orang lain tersebut dan semakin kamu mengumbar kesakitan dirimu kepada khalayak ramai. Disitulah kamu menyakiti dirimu sendiri.

Kenapa saya bisa bilang seperti itu? Ada seorang teman mengatakan kepada saya, ketika saya menceritakan bagaimana saya telah disakiti, ia berkata "sudah, sudah, sudah, jangan kau ingat-ingat lagi kejadian itu. Sudah,sudah, sudah kurangi menyalahkan orang tersebut yang telah menyakiti mu. Sudah, kamu lebih baik berhenti bicara dan kosongkan pikiran mu dari rasa sakit itu." , awalnya aku merasa dia sudah tidak ingin mendengarkan saya mengeluh dan menyalahkan orang lain atas perasaan saya, namun setelah saya diam sejenak, perasaan saya jadi lebih tenang. Kemudian, teman saya itu berkata "alangkah baiknya jika kamu menyalahkan dirimu saja, bukan orang lain. Belum tentu dia menyakitimu, bisa jadi kamu yang menyakitinya. Belum tentu dia disakiti oleh mu, bisa jadi kamu yang disakiti olehnya. Saran ku, kamu maafkan saja semuanya, buang jauh-jauh rasa disakiti dan menyakiti, maafkan saja yang disakiti dan menyakiti."

Yaa, setelah mendengarkan ia berkata seperti itu, bukan berarti saya langsung bisa memaafkan orang yang telah menyakiti saya ataupun memaafkan diri saya yang telah menyakiti orang lain. Namun, saya lebih bisa berhati-hati dalam menjawab pertanyaan beberapa teman mengenai hubungan saya dengan si a, si b ataupun si z.


Menyakiti itu mudah, merasa disakiti juga sangat mudah, yang sulit itu memaafkan, namun kenapa kita semua gak saling memaafkan saja, daripada saring serang dan melempar berbagai cacian halus bersirat tapi secara gamblang terlihat maksudnya apa. Kenapa harus terus merasa disakiti tanpa memikirkan keadaan orang yang menyakiti, mungkin saya boleh mengatakan jika menyakiti itu adalah cara satu-satunya untuk membela diri kenapa tidak? Mengapa yang disakiti merasa harus terus dibela padahal dia yang menyakiti yang menyakiti dengan menyebarkan isu mengenai dirinya dan bersembunyi dibalik topeng kuasa itu? Mengapa yang disakiti dan menyakiti tidak saling memaafkan saja?


Salam bahagia untuk yang merasa disakiti, salam bahagia untuk yang menyakiti dan salam sejahtera untuk yang memaafkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar